Kuliah Kedokteran: Antara Cita-Cita, Realita, dan Tekanan yang Jarang Dibicarakan

Siapa sih yang nggak bangga kalau bisa bilang, “Saya kuliah di fakultas kedokteran”? Pasti kesannya langsung pintar, rajin, dan berprestasi. Tapi di balik keren dan prestisiusnya gelar “mahasiswa kedokteran”, ada perjuangan panjang yang sering nggak kelihatan dari luar. kororadiology

Banyak yang mengira kalau sudah masuk FK (Fakultas Kedokteran), artinya jalan menuju masa depan cerah tinggal selangkah lagi. Padahal, kenyataannya nggak semudah itu. Kuliah kedokteran bukan cuma butuh otak encer, tapi juga stamina kuat, mental baja, dan waktu yang rela dikorbankan.


Dunia Kuliah Kedokteran: Nggak Sekadar Duduk di Bangku Kelas

1. Sistem Blok yang Padat dan Nggak Mengenal Ampun

Berbeda dari jurusan lain yang bisa santai ambil mata kuliah sesuai semester, di kedokteran semua sudah dikunci dari awal. Sistem blok membuat mahasiswa harus menyelesaikan materi per blok—mulai dari anatomi, fisiologi, hingga farmakologi—dengan ujian yang datang nyaris setiap minggu.

Yang bikin lelah bukan cuma materinya yang segunung, tapi juga waktu belajarnya yang nggak ada habisnya. Tidur 4 jam sehari? Sudah biasa. Belajar sampai dini hari? Sudah jadi rutinitas.

2. Praktikum yang Menantang Jiwa dan Raga

Selain teori, mahasiswa kedokteran juga harus menjalani praktikum. Mulai dari membedah kadaver (mayat yang diawetkan), mikroskop-an jaringan, sampai masuk ke rumah sakit untuk OSCE (ujian klinis). Praktikum ini nggak cuma menantang secara intelektual, tapi juga secara emosional. Nggak semua orang kuat berhadapan dengan realita tubuh manusia.

Bahkan ada mahasiswa yang awalnya yakin banget ingin jadi dokter, tapi setelah melihat anatomi tubuh manusia secara langsung, mentalnya goyah.


Sisi Lain yang Jarang Dibahas: Tekanan Sosial dan Mental

1. Ekspektasi Orang Tua dan Lingkungan

Ketika kamu kuliah di FK, orang-orang otomatis punya ekspektasi tinggi. “Wah, nanti jadi dokter sukses ya!”, “Pasti ranking terus dong!”, “Jangan gagal ya, kuliahmu mahal loh!”

Tekanan ini bisa datang dari keluarga, teman, bahkan dari diri sendiri. Ada rasa takut mengecewakan, takut gagal, dan takut nggak bisa jadi seperti yang orang-orang harapkan.

2. Kompetisi yang Diam-diam Menguras Energi

Meski banyak yang bilang, “Kita saling bantu kok!”, kenyataannya suasana kompetitif tetap terasa. Ranking, IPK, nilai ujian, hingga siapa yang duluan lulus co-ass seringkali jadi pembahasan diam-diam. Kalau nggak pintar-pintar menjaga diri, kamu bisa terbawa stres dan burnout.


Co-ass dan Dunia Klinik: Level Baru yang Jauh Lebih Berat

Setelah lulus dari tahap pre-klinik, mahasiswa kedokteran harus menjalani co-ass (co-assistant) atau tahap klinik. Di sinilah mereka “magang” di rumah sakit dan ikut langsung menangani pasien—tentu di bawah pengawasan dokter.

1. Jam Kerja Panjang dan Kurang Tidur

Bukan rahasia lagi kalau co-ass sering begadang, jaga malam, dan harus siap ditugaskan kapan saja. Belum lagi laporan yang harus diketik rapi, jurnal yang harus dibaca, dan kasus pasien yang harus dipresentasikan.

Jam kerja bisa mencapai 36 jam non-stop dalam beberapa rotasi tertentu. Dan ya, tetap harus tampil sopan dan profesional meskipun mata sudah panda dan tubuh lemas.

2. Belajar Komunikasi dan Empati Langsung di Lapangan

Di tahap ini, mahasiswa kedokteran bukan cuma belajar ilmu, tapi juga belajar komunikasi. Bagaimana menyampaikan diagnosis dengan baik, bagaimana menenangkan pasien dan keluarga yang panik, dan bagaimana bersikap manusiawi dalam setiap situasi.

Pelajaran ini nggak tertulis di buku, tapi justru sangat penting ketika nantinya jadi dokter beneran.


Realita Biaya Kuliah yang Nggak Main-Main

Satu hal lain yang sering bikin stres adalah biaya kuliah kedokteran. Di universitas negeri sekalipun, biaya bisa tembus puluhan bahkan ratusan juta, apalagi di universitas swasta.

Belum lagi tambahan biaya buku, alat praktikum, dan keperluan selama co-ass. Banyak mahasiswa yang harus ikut beasiswa, kerja sampingan, atau bahkan mengandalkan bantuan keluarga besar agar bisa tetap lanjut kuliah.


Lulus = Langsung Jadi Dokter? Nggak Semudah Itu

Banyak orang mengira setelah lulus kuliah kedokteran, otomatis langsung jadi dokter. Padahal, setelah lulus kuliah dan tahap klinik, mahasiswa harus ikut UKMPPD (Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter). Lulus ujian ini barulah bisa mengurus STR (Surat Tanda Registrasi) dan praktik resmi sebagai dokter.

Dan faktanya, banyak juga yang harus mengulang ujian ini karena tingkat kesulitannya tinggi.


Jadi, Worth It Nggak Kuliah Kedokteran?

Kalau ditanya apakah kuliah kedokteran itu berat, jawabannya jelas: YA. Tapi apakah sebanding dengan hasilnya? Itu tergantung dari tujuan dan niat awal kamu.

Kalau memang dari awal punya passion membantu orang lain, tertarik dengan dunia medis, dan siap berjuang panjang, maka semua proses berat itu akan terasa bermakna. Tapi kalau niatnya cuma karena “biar keren” atau “biar digaji tinggi”, bisa jadi kamu akan goyah di tengah jalan.

Add a Comment

Your email address will not be published.